Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.

Rabu, 20 November 2013

Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam

KH. Ahmad Dahlan (1869-1923)
Nama asli KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis dilahirkan di Yogyakarta, pada tahun 1869 dari keturunan keluarga KH. Abu Bakar bin K. Sulaiman seorang Khatib di Masjid jami Kesultanan Yogyakarta. Sedangkan ibunya yaitu putri Ibrahim, seorang penghulu. Muhammad Darwis remaja, setelah menamatkan pendidikan dasarnya dalam bidang ilmu nahwu, fiqh, tafsir dan hadits di Yogyakarta.


Dia pergi ke Mekkah (1890) untuk menuntut ilmu, salah seorang gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib. Satu tahun menetap di Mekkah, ia masih belum menampakkan sebagai ulama besar. Beberapa tujuannya yaitu kecuali menunaikan ibadah haji juga untuk melanjutkan menuntut ilmu di Mekkah. Kedua kali ini, ia mukim di Mekkah selama dua tahun.
Setelah ia kembali ke Indonesia, ia mengganti namanya dengan H. Ahmad Dahlan. Beberapa saat kemudian ia menikah dengan Siti Walidah, putri H. Fadhil, seorang penghulu di Yogyakarta. Pada saat yang bersamaan, H. Ahmad Dahlan memperoleh gelar atau sebutan baru dari masyarakat, yaitu kyai, sehingga pada tahun 1903 ia terkenal dengan sebutan KH. Ahmad Dahlan.
KH. Ahmad Dahlan adalah seorang ‘alim yang luas ilmunya tetapi ia tidak jemu-jemunya menambah ilmu dan pengalamannya dimana saja ada kesempatan ia membanding-bandingkan kemudian mencocokan ilmu-ilmu yang ia miliki tersebut.
Perubahan-perubahan yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan untuk masa-masa sekarang, tampaknya sangat sederhana akan tetapi pada masa itu memperoleh hambatan yang serius. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan semakin lancar setelah ia bergabung dengan Budi Utomo (BU). Bahkan melalui Budi Utomo ia memperoleh dukungan untuk mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912. Beliau wafat pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun, dengan meninggalkan sebuah organisasi Islam yaitu Muhammadiyah.

KH. Hasyim Asy’ari (1871-1957)
Hasyim Asy’ari dilahirkan  di Jombang pada tanggal 14 Februari 1871, ayahnya adalah Kh. Asy’ari. Setelah dianggap cukup banyak mendapatkan ilmu dasar-dasar agama Islam dari ayahnya, ia melanjutkan belajarnya ke beberapa pondok pesantren. Pondok pesantren pertama yang dijadikan tempaat menimba ilmu adalah pondok pesantren di Purbolinggo. Beberapa tahun kemudian ia pindah ke pesantren di Langitan, terus ke Semarang dan terakhir di pondok pesantren Madura.
Ketika ia menjadi santri di Siwalan Panji (Sidoarjo) pada tahun 1891, K. Yakub, pengasuh Pesantren Siwalan tertarik atas kecerdasan dan kesopanannya. Sehingga saatu tahun kemudian ia dijadikan menantunya. Beberapa saat kemudian, Hasyim muda pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus belajar ilmu-ilmu agama Islam satu tahun. Pada kunjungannya yang kedua kalinya ke Mekkah, Hasyim mukim dan belajar ilmu agama Islam dan bahasa Arab selama delapan tahun.
Pada tahun 1902 ia kembali ke Indonesia langsung dipercaya oleh orang tuanya, KH. Asy’ari untuk membuka pondok pesantren, yaitu Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Pembaharuan yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari yaitu, ia mendirikan Madrasah Salafiyyah pada tahun 1919, sebagai tangga untuk memasuki tingkat menengah di Pondok Pesantren Tebuireng. Sepuluh tahun kemudian Madrasah Salafiyyah yang didirikannya, dipercayakan kepada KH. Ilyas, untuk memimpinnya. Melalui KH. Ilyas, Madrasah Salafiyyah memasukkan materi ilmu-ilmu umum yaitu:
a.    Membaca dan menulis huruf latin;
b.    Mempelajari Bahasa Indonesia;
c.    Memperlajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia;
d.    Mempelajari ilmu bintang.
KH. Hasyim Asy’ari selain mendirikan pondok pesantren bercorak modern, ia juga dikenal sebagai pemrakarsa berdirinya NU, ia pernah diangkat menjadi Kepala Shumubi pada masa pendudukan Jepang sebagai panitia sembilan dalam merumuskan Pancasila, dasar negara RI pada tahun 1945.
Beliau meninggal pada tanggal 25 Juli 1957 dengan meninggalkan sebuah lembaga menumental, yaitu Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang dan organisasi masyarakat Islam terbesar yaitu NU.

KH. Abdul Halim (1887-1962)
KH. Abdul Halim dilahirkan di Ciborelang pada tahun 1887. Pada usia 10 tahun, ia telah mampu mengikuti pelajaran Al-Qur'an dan Al-Hadits di Pondok Pesantren KH. Anwar di Ranji Wetan, Majalengka. Setelah dianggap mempu menyelesaikan beberapa ilmu keagamaan, ia melanjutkan belajar ke beberapa pondok pesantren seperti, Pondok Pesantren Bobos (Cirebon, KH. Sudjak), Pondok Pesantren Ciwedus (Cilimus-Kuningan, KH. Ahmad Saubari), Pondok Pesantren Kenayangan (Pekalongan, KH. Agus), kemudian kembali ke Ciwedus, masing-masing selama tiga tahun.
Beberapa tahun kemudian ia pergi menunaikan ibadah haji dan sekaligus bermukim disana untuk mendalami ajaran-ajaran Islam. Di Mekkah, ia belajar kepada Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Ahmad Khayyar. Di Mekkah, Abdul Halim bersahabat dengan KH. Abdul Wahab, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan KH. Mas Mansur yang kemudian menjadi Ketua Umum Muhammadiyyah.
Selama tiga tahun ia belajar di lembaga pendidikan Bab Al Salam di Mekkah, dan ia kembali ke daerahnya, Majalengka. Di daerahnya kediamannya ia membuka lembaga pendidikan sekolah meniru dari kedua lembaga pendidikan yang pernah ia masuki di Mekkah. Pada saat itu, belum ada pondok pesantren yang membuka lembaga pendidikan dengan menggunakan sistem klasikal, yaitu menghapuskan sistem halaqah diganti dengan mengorganisasikan kelas-kelas, dilengkapi dengan sistem kurikulum yang tidak hanya memberikan pelajaran keagamaan tetapi sekaligus pelajaran umum. Pada tahun, 1911, ia mendirikan organisasi yanag bergerak di bidang ekonomi yaitu, Hayyatul Qulum yang kemudian dialih nama menjadi Persyarikatan Ulama.
Walaupun KH. Abdul Halim termasuk Syafi’iyyah, tapi ia banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh pembaharu seperti Muh. Abduh, Jalaluddin Al-Afghani, KH. Mas Mansur (Muhammadiyyah) dan KH. Abdul Wahab (NU). Karenanya, dalam menjalankan organisasinya, beliau tidak fanatik golongan. KH. Abdul Halim meninggal dunia pada tanggal 7 Mei 1962 di Majalengka dalam usia 75 tahun dengan meninggalkan sebuah Perguruan Islam PUI di Patri Asrama, di Majalengka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar